Senin, 24 November 2008

Pengakuan Eksistensi Atau ..….?

Berita di koran tentang keretakan harmonisasi di tubuh tim nasional sepakbola “Panser Jerman” dalam perjalanan kualifikasi World Cup 2010 , sungguh menyita perhatian berbagai kalangan . Tim yang dihuni oleh pemain – pemain populer papan atas di jagad sepakbola dunia kini harus segera “rislah” agar kosentrasi tim tidak terganggu.

Adalah bermula saat beberapa pemain senior ngambek karena tidak diturunkan bermain , bahkan ada diantara mereka yang hengkang dari kursi cadangan sebelum pertandingan usai. Kemudian rasa ketidakpuasannya mereka luapkan melalui media dan mulai memicu polemik . Walau pada akhirnya para pemain ( Michael Ballack cs ) minta maaf kepada sang pelatih , namun pelatih ( Joachim Loew ) masih perlu mengumpulkan mereka untuk me-re-deliver misinya dalam menangani tim.

Mengambil analogi berita diatas untuk kehidupan kita , mungkin kita juga sering merasaan hal yang hampir sama. Sebagai makhluk sosial manusia selalu membutuhkan orang lain entah itu dalam konteks individu maupun konteks kelompok atau tim. Terkadang kita merasa sebagai anggota tim , kita merasa bahwa kita memberikan kontribusi paling besar terhadap tim sehingga saat ada kebijakan yang tidak melibatkan diri kita maka kita akan merasa tersisih. Padahal si pemimpin ( manager , leader ) sebagai orang yang paling bertanggungjawab sudah mengkalkulasi semua aspek sebelum membuat keputusan.

Kadang sebagian dari kita menganggap itu adalah sikap manusiawi , bahwa setiap orang perlu diakui eksistensinya pada setiap situasi dimana berada. Jika kita ber-negative thinking tentu kondisi akan tidak lebih baik karena sikap iri , menentang, tidak kooperatif justru yang mendominasi otak kita. Seharusnya kita tetap menjaga positive thinking dengan melihat kondisi serta berjuang agar kita menjadi pilihan yang tepat diwaktu yang akan datang.

Pengalaman pribadi penulis juga masih sering terjebak pada negative thinking dalam kehidupan nyatanya. Sering merasa lebih baik tapi ternyata dari sudut pandang si “decision maker” saya bukanlah orang yang tepat. Aktualnya bahwa merasa lebih baik itu masih tergantung dari sudut pandang siapa ….? Rupanya inilah pokok permasalahannya yaitu “sudut pandang”.

Jikalah kita pada posisi si pelatih ( manager , leader ) tentunya kita juga ingin mempertahankan keseimbangan tim dengan menghindarkan ketergantungan dari peran individu atau “rely on function”. Karena hal ini akan sangat rentan terhadap stabilitas proses secara keseluruhan. Walau tidak mudah kita tentu lebih ingin “rely on process” yang menyandarkan pada kerja sistem dan tidak tergantung siapa aktornya , asalkan dijalankan sesuai prosedur dan yang bersangkutan kompeten maka hasilnya akan sesuai yang diharapkan.

Bagaimana dengan anda , apakah pernah berada dalam kondisi seperti diatas baik sebagi pemain atau pelatih ( manager . leader ) ….? Dan bagaimana sikap anda saat itu …?

Jadi pengakuan eksistensi tidak harus menjadi pemain utama dalam setiap drama , tapi memberikan kontribusi sesuai kapasitas dan peran kita dengan tetap memegang prinsip akan hasil akhir juga sudah menggambarkan bahwa eksistensi kita di tim tersebut diakui dan berkontribusi. Apapun peran kita, tercapainya target organisasi adalah penting.

Tim Panser , dibalik tekad bajamu tersimpan banyak pelajaran, ijinkan kami mengambil hikmah....

5 komentar:

  1. Trus gmana nih dengan dalam negeri (PSSI), kmarin kalah dg Myanmar...

    Perlu juga kaya Panser ya...

    BalasHapus
  2. Setuju! Kalau kita berada dalam posisi senior di sebuah tim sepakbola, pantas rasanya meneladani sikap Del Piero di Juventus. Del Piero tidak perlu ribut2 menunjukkan keAKUannya dengan aksi yang berlebihan. Cukup dengan mencetak gol demi gol ke gawang lawan. Tak peduli dipanggil timnas atau tidak, Del Piero tetap berusaha memaknai hidupnya dengan terus mencetak gol di level klub.

    BalasHapus
  3. @ Mas Awal : iya nih .. PSSI kalah dua kali dari lawan yg sama pada turnament yg sama, ya..hitung2 menghormatituan rumah lah ..

    @ BW : ya , saya juga setuju. Mudah2an Bapak Bangsa kita dan seluruh elemen bangsa Indonesia mampu mengadopsi sikap Del Piero bahwa untuk diakui tidak mesti jadi nomor satu sehingga memberi kesan "berebut" secara negatif.

    BalasHapus
  4. Iya nih, masa PSSI harus belajar dan belajar terus dalam sepakbola. Sepertinya dari dulu hingga sekarang bahkan sampai kapanpun akan tetap begitu deh. Di level asia tenggara saja masih belum mampu menjadi yang teratas.

    BalasHapus
  5. @Mas Mufti : sepakbola indonesia akan terus belajar jika para pelaku dan ornamen yang menempel semuanya mengharapkan hasil instan. Sedangkan hasil akhir sendiri sangat ditentukan dari pondasi dan langkah awal bagaimana bangunan sepakbola itu disusun serta konsistensi didalam menjalankan proses bangunan itu sendiri

    BalasHapus